Sebagai warga Indonesia khususnya warga NU haruslah mengetahui sejarah
Bangsa ini. Bagaimana NU dalam peranannya yang begitu besar dalam
memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, mempertahankan keutuhan NKRI dan
bagaimana latar belakang lahirnya ormas terbesar di dunia Nahdlatul
Ulama (NU) ini lahir. Silakan disimak dan dihayati mudah-mudahan menjadi
pijakan bagi kita untuk lebih menghargai jasa-jasa para Pahlawan.
Ada tiga alasan yang melatarbelakangi lahirnya Nahdlatul Ulama 31 Januari 1926:
1. Motif Agama.
Bahwa Nahdlatul Ulama lahir atas semangat menegakkan dan mempertahankan
Agama Allah di Nusantara, meneruskan perjuangan Wali Songo. Terlebih
Belanda-Portugal tidak hanya menjajah Nusantara, tapi juga menyebarkan
agama Kristen-Katolik dengan sangat gencarnya. Mereka membawa para
misionaris-misionaris Kristiani ke berbagai wilayah.
2. Motif Nasionalisme.
NU lahir karena niatan kuat untuk menyatukan para ulama dan tokoh-tokoh
agama dalam melawan penjajahan. Semangat nasionalisme itu pun terlihat
juga dari nama Nahdlatul Ulama itu sendiri yakni Kebangkitan Para Ulama.
NU pimpinan Hadhratus Syaikh KH. Hasyim Asy'ari sangat nasionalis.
Sebelum RI merdeka, para pemuda di berbagai daerah mendirikan organisasi
bersifat kedaerahan, seperti Jong Cilebes, Pemuda Betawi, Jong Java,
Jong Ambon, Jong Sumatera, dan sebagainya. Tapi, kiai-kiai NU justru
mendirikan organisasi pemuda bersifat nasionalis.
Pada 1924, para pemuda pesantren mendirikan Syubbanul Wathon (Pemuda
Tanah Air). Organisasi pemuda itu kemudian menjadi Ansor Nahdlatoel
Oelama (ANO) yang salah satu tokohnya adalah pemuda gagah, Muhammad
Yusuf (KH. M. Yusuf Hasyim -Pak Ud).
Selain itu dari rahim NU lahir lasykar-lasykar perjuangan fisik, di
kalangan pemuda muncul lasykar-lasykar Hizbullah (Tentara Allah) dengan
panglimanya KH. Zainul Arifin seorang pemuda kelahiran Barus Sumatra
Utara 1909, dan di kalangan orang tua Sabilillah (Jalan menuju Allah)
yang di komandoi KH. Masykur.
Sejarah mencatat, meski bangsa Indonesia telah memproklamasikan
kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, 53 hari kemudian NICA (Netherlands
Indies Civil Administration) nyaris mencaplok kedaulatan RI. Pada 25
Oktober 1945, 6.000 tentara Inggris tiba di Pelabuhan Tanjung Perak,
Surabaya. Pasukan itu dipimpin Brigadir Jenderal Mallaby, Panglima
Brigade ke-49 (India). Penjajah Belanda yang sudah hengkang pun
membonceng tentara sekutu itu.
Praktis, Surabaya genting. Untung, sebelum NICA datang, Soekarno sempat
mengirim utusan menghadap Hadhratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari di
Pesantren Tebuireng, Jombang. Melalui utusannya, Soekarno bertanya
kepada Hadhratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari: “Apakah hukumnya membela
tanah air? Bukan membela Allah, membela Islam, atau membela al-Qur'an.
Sekali lagi, membela tanah air?”
Hadhratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari yang sebelumnya sudah punya fatwa
jihad kemerdekaan bertindak cepat. Dia memerintahkan KH. Wahab
Hasbullah, KH. Bisri Syansuri, dan para Kiyai lain untuk mengumpulkan
para Kiyai se-Jawa dan Madura. Para Kiyai dari Jawa dan Madura itu
lantas rapat di Kantor PB Ansor Nahdlatoel Oelama (ANO), Jalan Bubutan
VI/2, Surabaya, dipimpin Kiai Wahab Hasbullah pada 22 Oktober 1945.
Pada 23 Oktober 1945, Hadhratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari atas nama
Pengurus Besar NU mendeklarasikan seruan jihad fi sabilillah, yang
kemudian dikenal dengan Resolusi Jihad.
Ada tiga poin penting dalam Resolusi Jihad itu: a) Pertama, setiap
muslim – tua, muda, dan miskin sekalipun- wajib memerangi orang kafir
yang merintangi kemerdekaan Indonesia. b) Kedua, pejuang yang mati dalam
perang kemerdekaan layak disebut syuhada. c) Ketiga, warga Indonesia
yang memihak penjajah dianggap sebagai pemecah belah persatuan nasional,
maka harus dihukum mati.
Jadi, umat Islam wajib hukumnya membela tanah air. Bahkan, haram
hukumnya mundur ketika kita berhadapan dengan penjajah dalam radius 94
km (jarak ini disesuaikan dengan dibolehkannya Qashar Shalat). Di luar
radius itu dianggap fardhu kifayah (kewajiban kolektif, bukan fardhu
‘ain, kewajiban individu).
Fatwa jihad yang ditulis dengan huruf pegon itu kemudian digelorakan
Bung Tomo lewat radio. Keruan saja, warga Surabaya dan masyarakat Jawa
Timur yang keberagamaannya kuat dan mayoritas NU merasa terbakar
semangatnya. Ribuan Kiyai dan santri dari berbagai daerah -seperti
ditulis M.C. Ricklefs (1991), mengalir ke Surabaya.
Meletuslah peristiwa 10 November 1945 yang dikenang sebagai hari
pahlawan. Para Kiyai dan pendekar tua membentuk barisan pasukan non
regular Sabilillah yang dikomandani oleh KH. Maskur. Para santri dan
pemuda berjuang dalam barisan pasukan Hizbullah yang dipimpin oleh H.
Zainul Arifin. Sementara para Kiyai sepuh berada di barisan Mujahidin
yang dipimpin oleh KH. Wahab Hasbullah. Perang tak terelakkan sampai
akhirnya Brigadir Jenderal Mallaby tewas.
3. Motif Mempertahankan Faham Ahlussunnah wal Jama’ah.
NU lahir untuk membentengi umat Islam khususnya di Indonesia agar tetap
teguh pada ajaran Islam Ahlussunnah wal Jama’ah (Para Pengikut Sunnah
Nabi, Sahabat dan Ulama Salaf Pengikut Nabi-Sahabat), sehingga tidak
tergiur dengan ajaran-ajaran baru (tidak dikenal zaman
Rasul-Sahabat-Salafus Shaleh/ajaran ahli bid'ah). Pembawa ajaran-ajaran
bid'ah yang sesat (bid'ah madzmumah) menurut ulama Ahlussunnah wal
Jama’ah adalah sebagai berikut:
a) Kaum Khawarij dengan imam/pemimpinnya Abdullah bin Abdul Wahab
ar-Rasabi yang muncul di masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib Ra. yang
berpendapat bahwa orang yang berdosa besar adalah kafir, sehingga ciri
khas mereka mudah menuduh orang-orang Islam yang tidak sepaham dengan
ajarannya sebagai kafir. Bahkan sahabat Ali bin Abi Thalib Ra. pun dicap
kafir karena dianggap berdosa besar mau menerima tawaran
tahkim/perdamaian yang diajukan oleh pemberontak Muawiyyah Ra.
b) Kaum Syi'ah, lebih-lebih setelah munculnya sekte syi'ah Rafidhah dan
Ghulat. Tokoh pendiri Syi'ah adalah Abdullah bin Saba’ seorang Yahudi
yang pura-pura masuk Islam dan menyebarkan ajaran Wishoya, bahwa
kepemimpinan setelah Nabi adalah lewat wasiat Nabi Saw. Dan yang
mendapatkan wasiat adalah Ali bin Abi Thalib Ra. Dan Abu Bakar, Umar dan
Utsman termasuk perampok jabatan.
c) Aliran Mu'tazilah yang didirikan oleh seorang tabi'in yang bernama
Wasil bin Atho', ciri ajaran ini adalah menafsirkan al-Qur'an dan
kebenaran agama ukurannya adalah akal manusia, bahkan mereka berpendapat
demi sebuah keadilan Allah harus menciptakan al-manzilah baina
al-manzilataini, yakni satu tempat di antara surga dan neraka sebagai
tempat bagi orang-orang gila.
d) Faham Qodariyyah yang pendirinya adalah Ma'bad al-Juhaini dan Ghailan
ad-Dimasyqi keduanya murid Wasil bin Atho' dan keduanya dijatuhi
hukuman mati oleh Gubernur Irak dan Damaskus karena menyebarkan ajaran
sesat (bid'ah), ciri ajarannya adalah manusia berkuasa penuh atas dunia
ini, karena tugas Allah telah selesai dengan diciptakannya dunia, dan
bertugas lagi nanti ketika kiamat datang.
e) Aliran Mujassimah atau kaum Hasyawiyyah ciri aliran ini menjasmanikan
Allah (menyerupakan Allah dengan makhluk) yang diawali dengan
menafsirkan al-Qur'an secara lafdziy dan tidak menerima ta'wil, sehingga
sehingga mengartikan yadullah adalah Tangan Allah. (Lihat Ibnu Hajar
al-'Asqolani dalam Fath al-Baari Juz XX hal. 494). Bahkan mereka sanggup
mengatakan, bahwa pada suatu ketika, kedua mata Allah kesedihan, lalu
para malaikat datang menemuiNya dan Dia (Allah) menangisi (kesedihan)
berakibat banjir Nabi Nuh As. sehingga mataNya menjadi merah, dan ‘Arsy
meratap hiba seperti suara pelana baru dan bahwa Dia melampaui ‘Arsy
dalam keadaan melebihi empat jari di segenap sudut. (Lihat
asy-Syahrastani dalam al-Milal wa an-Nihal, hal. 141).
f) Ajaran-ajaran Para Pembaharu Agama Islam (Mujaddid) yang dimulai dari
Ibnu Taimiyyah (661-728 H / 1263-1328 M atau abad ke 7 – 8 H / 13 – 14 M
yakni 700 tahun setelah Nabi Saw. wafat atau 500 tahun dari masa Imam
asy-Syafi'i). Beliau mengaku penganut madzhab Hanbali, tapi anehnya
beliau justru menjadi orang pertama yang menentang sistem madzhab.
Pemikirannya lalu dilanjutkan muridnya Ibnul Qoyyim al-Jauziyyah. Aliran
ini kemudian dikenal dengan nama aliran salafi-salafiyah yang mengaku
memurnikan ajaran kembali ke al-Qur'an dan Hadits, tetapi di sisi lain
mereka justru mengingkari banyak hadits-hadits Shahih (inkarus sunnah).
Mereka ingin memberantas bid'ah tetapi pemahaman tentang bid'ahnya
melenceng dari makna bid'ah yang dikehendaki Rasulullah Saw., yang
dipahami oleh para sahabat dan para ulama salaf Ahlussunnah wal Jama'ah.
Mereka juga membangkitkan kembali penafsiran al-Qur'an-Sunnah secara
lafdziy. Golongan Salafi ini percaya bahwa al-Qur’an dan Sunnah hanya
bisa diartikan secara tekstual (apa adanya teks) atau literal dan tidak
ada arti majazi atau kiasan di dalamnya. Pada kenyataannya terdapat ayat
al-Qur’an yang mempunyai arti harfiah dan ada juga yang mempunyai arti
majazi, yang mana kata-kata Allah Swt. harus diartikan sesuai dengannya.
Jika kita tidak dapat membedakan di antara keduanya maka kita akan
menjumpai beberapa kontradiksi yang timbul di dalam Al-Qur’an. Maka dari
itu sangatlah penting untuk memahami masalah tersebut.
Dengan adanya keyakinan bahwa seluruh kandungan Al-Qur’an dan Sunnah
hanya memiliki makna secara tekstual atau literal dan jauh dari makna
majazi atau kiasan ini, maka akibatnya mereka memberi sifat secara fisik
kepada Allah Swt. (umpama Dia Swt. mempunyai tangan, kaki, mata dan
lain-lain seperti makhlukNya). Mereka juga mengatakan terdapat kursi
yang sangat besar (‘Arsy) dimana Allah Swt. duduk (sehingga Dia
membutuhkan ruangan atau tempat untuk duduk) di atasnya. Terdapat banyak
masalah lainnya yang diartikan secara tekstual. Hal ini telah membuat
banyak fitnah di antara ummat Islam, dan inilah yang paling pokok dari
mereka yang membuat berbeda dari madzhab yang lain. Salafisme ini hanya
berjalan atas tiga komposisi yaitu; Syirik, Bid’ah dan Haram.
(Penjelasan rincinya akan dibahas kemudian).
Munculnya Muhammad bin Abdul Wahab di abad ke 12 H / 18 M, seorang
pembaharu agama (mujaddid) yang lahir di Ayibah lembah Najed (1115-1201
H/1703-1787 M) yang mengaku sebagai penerus ajaran Salafi Ibnu Taimiyyah
dan kemudian mendirikan madzhab Wahabi-Wahabiyyah. Ia pun mengaku
sebagai Ahlussunnah wal Jama’ah karena meneruskan pemikiran Imam Ahmad
bin Hanbal yang diterjemahkan oleh Ibnu Taimiyyah, tapi sebagaimana
pendahulunya, Muhammad bin Abdul Wahab dan pengikutnya pun layaknya kaum
Khawarij yang mudah mengkafirkan para ulama yang tidak sejalan dengan
dia, bahkan sesama madzhab Hanbali pun ia mengkafirkanya.
Di sini, kita akan mengemukakan beberapa pengkafiran Muhammad bin Abdul
Wahhab terhadap beberapa tokoh ulama Ahlussunnah yang tidak sejalan
dengan pemikiran sektenya:
• Dalam sebuah surat yang dilayangkan kepada Syeikh Sulaiman bin Sahim
–seorang tokoh madzhab Hanbali pada zamannya– Ia (Muhamad Abdul Wahhab)
menuliskan: “Aku mengingatkan kepadamu bahwa engkau bersama ayahmu telah
dengan jelas melakukan perbuatan kekafiran, syirik dan kemunafikan!
Engkau bersama ayahmu siang dan malam sekuat tenagamu telah berbuat
permusuhan terhadap agama ini! Engkau adalah seorang penentang yang
sesat di atas keilmuan. Dengan sengaja melakukan kekafiran terhadap
Islam. Kitab kalian itu menjadi bukti kekafiran kalian!” (Lihat dalam
ad-Durar as-Saniyah jilid 10 hal. 31).
• Dalam sebuah surat yang dilayangkan untuk Ibnu Isa –yang telah
melakukan argumentasi terhadap pemikirannya –Muhammad Abdul Wahhab
menvonis sesat para pakar fikih (fuqoha) secara keseluruhan. Ia (Muhamad
Abdul Wahhab) menyatakan: (Firman Allah); “Mereka menjadikan
orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah”.
Rasul dan para imam setelahnya telah mengartikannya sebagai ‘Fikih’ dan
itu yang telah dinyatakan oleh Allah sebagai perbuatan syirik.
Mempelajari hal tadi masuk kategori menuhankan hal-hal lain selain
Allah. Aku tidak melihat terdapat perbedaan pendapat para ahli tafsir
dalam masalah ini.” (Lihat dalam ad-Durar as-Saniyah jilid 2 hal. 59).
• Berkaitan dengan Imam Fakhrur Razi –pengarang kitab Tafsir al-Kabir,
yang bermadzhab Syafi’i Asy’ary– ia (Muhamad Abdul Wahhab) mengatakan:
“Sesungguhnya Razi tersebut telah mengarang sebuah kitab yang
membenarkan para penyembah bintang.” (Lihat dalam ad-Durar as-Saniyah
jilid 10 hal. 355). Betapa kedangkalan ilmu Muhamad bin Abdul Wahhab
terhadap karya Imam Fakhrur Razi. Padahal dalam karya tersebut, Imam
Fakhrur Razi menjelaskan tentang beberapa hal yang menjelaskan fungsi
gugusan bintang dalam kaitannya dengan fenomena yang berada di bumi,
termasuk berkaitan dengan bidang pertanian. Namun Muhammad bin Abdul
Wahhab dengan keterbatasan ilmu terhadap ilmu perbintangan telah
menvonisnya dengan julukan yang tidak layak, tanpa didasari ilmu yang
cukup.
Dari berbagai pernyataan di atas maka jangan kita heran jika Muhammad
bin Abdul Wahhab pun mengkafirkan –serta diikuti oleh para pengikutnya
(Wahhabi)–para pakar teologi (mutakallimin) Ahlusunnah secara
keseluruhan (Lihat dalam ad-Durar as-Saniyah jilid 1 hal. 53), bahkan ia
(Muhamad Abdul Wahhab) mengaku-ngaku bahwa kesesatan para pakar teologi
tadi merupakan konsensus (ijma’) para ulama dengan mencatut nama para
ulama seperti adz-Dzahabi, Imam Daruquthni dan al-Baihaqi.
Tokoh Pembaharu Agama (mujaddid) lain penerus faham salafi Ibnu
Taimiyyah adalah muncul pada abad ke 19 di Afghanistan yang bernama
Jamaluddin al-Afghani (1838-1898). Ajarannya diteruskan oleh muridnya
dari Mesir di abad ke 19 – 20 M yang bernama Muhammad Abduh (1949-1905).
Pemikiran Muhammad Abduh menyebar ke berbagai penjuru dunia lewat
tulisannya yang dimuat dalam majalah al-Manar. Setelah beliau wafat pada
tahun 1905, majalah al-Manar diteruskan oleh muridnya yang bernama
Muhammad Rasyid Ridla (1865-1935). Kumpulan tulisan Muhammad Abduh dan
M. Rasyid Ridla ini kemudian dibukukan menjadi Tafsir al-Manar.
Dalam perkembangannya aliran Salafi-Wahabi pun terpecah dalam banyak
faksi (kelompok) dengan karakteristiknya masing-masing, tergantung pada
imam mana yang diikutinya. Tokoh ulama Wahabi yang menjadi rujukan dan
panutan saat ini adalah Muhammad Nashiruddin al-Albani seorang dosen
Ilmu Hadits di Universitas Islam Madinah yang lahir pada tahun 1915 dan
wafat 1 Oktober 1989. Ia dipuja-puja kaum Wahabi-Salafi bahkan dianggap
lebih alim dari Imam Bukhori, karena ia men-Takhrij/mengomentari
beberapa haditsnya Imam Bukhori (194 – 256 H).
Ajaran Salafi-Wahabi ini masuk ke Indonesia mulanya:
1) Dibawa oleh seorang tokoh pembaharu agama (mujaddid) asal Yogyakarta
yang bernama Darwis yang aktif dan rutin mengikuti pemikiran Muhammad
Abduh-M. Rasyid Ridla lewat majalah al-Manar dan ajaran Wahabi. Ia
kemudian dikenal dengan nama KH. Ahmad Dahlan yang pada 18 Nopember 1912
mendirikan organisasi keagamaan Muhammadiyyah. Walaupun kenyataannya
dalam amaliyah sehari-hari selama hidupnya KH. Ahmad Dahlan lebih dekat
kepada madzhab Syafi’i. Namun sepeninggal beliau terjadi modernisasi
total dari para penerusnya.
2) Syaikh Akhmad Soorkati (1872-1943) seorang tokoh pembaharu (mujaddid)
asal Sudan yang kalah bersaing dalam Jami'at al-Khair di negaranya,
kemudian Hijrah ke Indonesia dan tahun 1914 di Betawi mendirikan
organisasi al-Irsyad.
3) Di Bandung pun muncul Mujaddid yang bernama A. Hasan yang juga
dikenal sebagai Hasan Bandung atau Hasan Bangil yang tahun 1927
meneruskan organisasi PERSIS (Persatuan Islam) yang didirikan pada 1923
oleh KH. Zam Zam Palembang.
4) HOS. Cokroaminoto dengan PSII (Persatuan Syarikat Islam Indonesia).
Apa yang Menyebabkan Aliran "Islam Baru” Dapat Menyebar dengan Cepat?
Muhammad bin Abdul Wahab pernah menguji coba ajaranya kepada penduduk
Bashrah, tetapi karena mereka adalah penganut fanatik ajaran Ahlussunnah
wal Jama’ah, maka usahanya bagaikan menabrak batu karang. Kemudian
Muhammad bin Abdul Wahhab menetap di Dir’iyah dan Pangeran Muhammad ibn
Saud (dari Dir’iyah Najed) setuju untuk saling dukung-mendukung dengan
Wahhabi.
Keluarga/Klan Saud dan pasukan/lasykar Wahhabi berkembang menjadi
dominan di semenanjung Arabia, pertama menundukkan Najed, lalu
memperluas kekuasaan mereka ke pantai timur dari Kuwait sampai Oman.
Orang Saudi juga membawa tanah tinggi 'Asir di bawah kedaulatan mereka
dan pasukan Wahhabi mereka mengadakan serangan di Irak dan Suriah, dan
menguasai kota suci Shi'ah, Karbala tahun 1801.
Pada tahun 1802, pasukan Saudi-lasykar Wahhabi merebut kota Hijaz
(Jeddah, Makkah, Madinah dan sekitarnya) di bawah kekuasaan mereka. Hal
ini menyebabkan kemarahan Daulah Utsmaniyah Turki, yang telah menguasai
kota suci sejak tahun 1517, dan membuat Daulah Utsmaniyah bergerak.
Tugas untuk menghancurkan Wahhabi diberikan oleh Daulah Utsmaniyah Turki
kepada raja muda kuat Mesir, Muhammad Ali Pasha.
Muhammad Ali mengirim pasukannya ke Hijaz melalui laut dan merebutnya
kembali. Anaknya, Ibrahim Pasha, lalu memimpin pasukan Utsmaniyah ke
jantung Najed, merebut kota ke kota. Akhirnya, Ibrahim mencapai ibukota
Saudi, Dir’iyah dan menyerangnya untuk beberapa bulan sampai kota itu
menyerah pada musim dingin tahun 1818.
Ibrahim lalu membawa banyak anggota klan Al Saud dan Ibn Abdil Wahhab ke
Mesir dan Ibukota Utsmaniyah, Istanbul Turki, dan memerintahkan
penghancuran Diriyah, yang reruntuhannya kini tidak pernah disentuh
kembali. Pemimpin Saudi terakhir, Abdullah bin Saud dieksekusi di
Ibukota Utsmaniyah, dan kepalanya dilempar ke air Bosphorus. Sejarah
kerajaan Saudi Pertama berakhir, namun, Wahhabi dan klan Al Saud hidup
terus dan mendirikan kerajaan Saudi Kedua yang bertahan sampai tahun
1891.
Perselingkuhan agama - ambisi kekuasaan - kepentingan asing dimulai dari
wilayah Najed. Ketika lasykar Wahhabi - klan Al Saud yang dipimpin
Abdul Aziz Ibnu Sa'ud menyusun kekuatan kembali disertai dukungan
persenjataan mesin dari sekutu lamanya, Inggris (antek Amerika). Maka
awal tahun 1900-an mereka menyerang kembali kota Hijaz yang saat itu
dipimpin Raja Syarif Husain. Ketika itu Hijaz hanya dibantu oleh Daulah
Utsmaniyyah Turki yang sudah mulai lemah, dan akhirnya pada tahun 1924
ketika kekuasaanya sudah mengecil Raja Syarif Husain mengasingkan diri
ke kepulauan Cyprus dan kekuasaanya diserahkan pada putranya yang
bernama raja Syarif Ali.
Raja Syarif Ali membuat kota-kota pertahanan baru, tapi lasykar
Wahhabi-klan Ibnu Sa'ud dengan persenjataan canggih berhasil mengepung
semua kota, hingga yang tersisa hanya pertahanan di pelabuhan Jeddah.
Pada ahir 1925 ketika lasykar Wahhabi-klan Ibnu Sa'ud berhasil menguasai
pelabuhan Jeddah, maka Raja Syarif Ali menyerah pada pemberontak.
Dari tahun 1925 inilah Hijaz dengan dua kota suci Makkah dan Madinah
dikuasai oleh keluarga Sa'ud dan Wahhabi. Dan ahirnya tepat tanggal 23
September tahun 1932, Hijaz berubah nama menjadi al-Mamlakah
al-'Arabiyyah as-Sa'udiyyah, Kerajaan Arab Sau'di, yang dinisbatkan
kepada nama leluhurnya yakni Al Sa'ud, dengan Ibukotanya Riyadh. Dan
tahun 1943 muncullah ARAMCO (Arabian-American Company) yang
mengeksplorasi minyak Arab Saudi. Dari sejarah itulah, mengapa sampai
saat ini Arab Saudi selalu tidak bisa bersuara selain seperti suara
Amerika, sekalipun harus berbeda dengan negara-negara Islam lainnya.
Jatuhnya Hijaz ke tangan pemberontak pada 1925 tidak hanya berakibat
perubahan pemeritahan, tapi juga merombak total praktek-praktek
keagamaan di Hijaz dari yang semula Ahlussunnah wal Jama’ah menjadi
faham Wahhabi. Seperti larangan bermadzhab, larangan ziarah ke
makam-makam pahlwan Islam, larangan merokok, larangan berhaji dengan
cara madzhab. Bahkan makam Rasulullah Saw., sahabat dan tempat-tempat
bersejarah pun berencana akan digusur karena dianggap sebagai
biang/tempatnya kemusyrikan.
Ketika aliran Salafi-Wahhabi berkembang di Dir’iyyah maupun Najed itu
belumlah membuat risau umat Islam dunia. Tetapi ketika mereka menguasai
pusat Islam yakni dua kota suci di Hijaz, maka hal ini menimbulkan
dampak yang luar biasa, termasuk dalam persebarannya ke seluruh dunia.
Melihat perubahan ajaran yang terjadi di Hijaz, maka hampir semua umat
Islam Ahlussunnah wal Jama’ah di seluruh dunia memprotes rencana
pemerintahan baru di Hijaz yang ingin memberlakukan asas tunggal, yakni
madzhab Wahhabi.
Protes luar biasa pun muncul di Indonesia, ketika bulan Januari 1926
ulama-ulama Ahlussunnah wal Jama’ah di Indonesia berkumpul di Surabaya
untuk membahas perubahan ajaran di dua kota suci. Dari pertemuan
tersebut lahirlah panita Komite Hijaz yang diberi mandat untuk
mengahadap raja Ibnu Sa'ud guna menyampaikan masukan dari ulama-ulama
Ahlussunah wal Jama’ah di Indonesia. Akan tetapi karena belum ada
organisasi induk yang menaungi delegasi Komite Hijaz, maka pada tanggal
31 Januari 1926, ulama-ulama Ahlussunnah wal Jama’ah Indonesia kembali
berkumpul dan membentuk organisasi Induk yang diberi nama Nahdlatul
Ulama (Kebangkitan Para Ulama) dengan Rois Akbar Hadhratus Syaikh KH.
Hasyim Asy’ari .
Susunan delegasi Komite Hijaz NU untuk menghadap raja Ibnu Sa'ud adalah sebagai berikut:
Penasehat : KH. Abdul Wahab Hasbullah, KH. Masyhuri Lasem, KH. Kholil
Lasem Ketua : KH. Hasan Gipo, Wakil Ketua : H. Shaleh Syamil Sekretaris :
Muhammad Shadiq Pembantu : KH. Abdul Halim
Materi pokok yang hendak disampaikan langsung ke hadapan raja Ibnu Sa'ud adalah:
1) Meminta kepada raja Ibnu Sa'ud untuk memberlakukan kebebasan
bermadzhab empat: Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali. 2) Meminta tetap
diramaikannya tempat bersejarah karena tempat tersebut telah diwakafkan
untuk masjid. 3) Mohon agar disebarluaskan ke seluruh dunia setiap tahun
sebelum jatuhnya musim haji, baik ongkos haji, perjalanan keliling
Makkah maupun tentang Syekh. 4) Mohon hendaknya semua hukum yang berlaku
di negeri Hijaz, ditulis sebagai undang-undang supaya tidak terjadi
pelanggaran hanya karena belum ditulisnya undang-undang tersebut. 5)
Jam'iyyah NU mohon jawaban tertulis yang menjelaskan bahwa utusan sudah
menghadap raja Ibnu Sa'ud dan sudah pula menyampaikan usul-usul NU
tersebut.
Daftar Pustaka:
• Al-Milal wa al-Nihal, Syaikh Abdul Karim asy-Syahrastani • Fath
al-Bari fi Syarh Shohih al-Bukhari, Al-Imam Ibnu Hajar al-Asqolani • KH.
Zainul Arifin, panglima Hizbullah, Seorang Pahlawan, NU Online •
Pertumbuhan dan Perkembangan NU, Drs. Choirul Anam. Bisma Satu Surabaya •
Resolusi Jihad dalam Peristiwa 10 November, M. Mas’ud Adnan, Jawa Pos •
Telaah Kritis Atas Doktrin Faham Salafi / Wahabi, A. Sihabuddin • Dll.